Monday, February 4, 2008

KEDUDUKAN UTANG PAJAK DALAM KEPAILITAN

KEDUDUKAN UTANG PAJAK DALAM KEPAILITAN,

DALAM KAITANNYA DENGAN KASUS

KPP GROGOL PETAMBURAN c.q. DJP DENGAN PT. IMK

A. Latar Belakang

Kepailitan menurut UU No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Membayar Utang, adalah sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Dalam hal ini kepailitan berfungsi sebagai emergency window, yaitu pintu keluar darurat, dengan demikian kepailitan ini sebisa mungkin diambil sebagai jalan terakhir ketika situasi lain sudah tidak memungkinkan.

Menurut Penjelasan UU Kepailitan, beberapa faktor perlunya pengaturan mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang adalah:

  1. untuk menghindari perebutan harta Debitor apabila dalam waktu yang sama ada beberapa Kreditor yang menagih piutangnya dari Debitor;
  2. untuk menghindari adanya Kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik Debitor tanpa memperhatikan kepentingan Debitor atau Kreditor lainnya;
  3. untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan salah seorang Kreditor atau Debitor sendiri.

Menurut Pasal 1 angka 6 UU No. 37 tahun 2004, Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontijen, yang timbul karena perjanjian atau Undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitor.

Kreditor menurut Pasal 1 angka 2 UU Kepailitan adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan.

Syarat kepailitan Menurut Pasal 2 UU No. 37 Tahun 2004 (UU Kepailitan) adalah Debitor yang mempunyai atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusann pengadilan, baik atas permohonan satu atau lebih kreditornya.

B. Permasalahan

Dengan demikian yang menjadi pembahasan dalam paper ini adalah apakah utang pajak termasuk pengertian utang dalam UU Kepailitan? Kemudian bagaimanakah kedudukan utang pajak dalam kepailitan ini?

C. Pembahasan

Pasal 1 angka 8 UU No. 19 tahun 2000 ttg Penagihan Pajak dengan Surat Paksa menyatakan bahwa Utang pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administrasi berupa bunga, denda atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau surat sejenisnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Pasal 19 ayat (6) UU PPSP, menyatakan bahwa:

Hak mendahului untuk tagihan pajak mendahului segala hak mendahulu lainnya, kecuali terhadap:

a. biaya perkara yang semata-mata disebabkan suatu penghukuman untuk melelang atau melelang suatu barang bergerak dan atau barang tidak bergerak;

b. biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud;

c. biaya perkara yang semata-mata disebabkan pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.

Penjelasan Pasal 19 ayat (6) UU PPSP menyatakan:

Ayat ini menetapkan kedudukan Negara sebagai kreditur preferen yang dinyatakan mempunyai hak mendahulu atas barang-barang milik Penanggung Pajak yang akan dijual kecuali terhadap biaya perkara yang semata-mata disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan atau barang tidak bergerak, biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud, atau biaya perkara yang semata-mata disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu warisan. Hasil penjualan barang-barang milik Penanggung Pajak terlebih dahulu untuk membayar biaya-biaya tersebut di atas dan sisanya dipergunakan untuk melunasi utang pajak.

Sementara itu menurut Pasal 21 Undang-Undang No. 16 tahun 2000 Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan dinyatakan bahwa:
(1)  Negara mempunyai hak mendahulu untuk tagihan pajak atas barang-barang milik Penanggung Pajak.
(3)  Hak mendahulu untuk tagihan pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali terhadap :
a.       biaya perkara yang semata-mata disebabkan suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan atau barang tidak bergerak;
b.      biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud;
c.       biaya perkara, yang semata-mata disebabkan pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.
(4)  Hak mendahulu itu hilang setelah lampau waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal diterbitkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, kecuali apabila dalam jangka waktu 2 (dua) tahun tersebut, Surat Paksa untuk membayar itu diberitahukan secara resmi, atau diberikan penundaan pembayaran.
 
Menurut Munir Fuady (2005: 100) jika terdapat kreditur diistimewakan yang tingkatannya di atas tingkatan kreditur separatis, vide Pasal 1134 ayat (2) KUH Perdata, Kurator dan kreditur diistimewakan tersebut dapat meminta kreditur separatis agar hasil penjualan harta jaminan hutang tersebut diserahkan kepadanya sejumlah yang sama dengan piutang yang diistimewakan tersebut.
Pasal 1134 ayat (1) KUH Perdata menyatakan bahwa: “hak istimewa ialah suatu hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seseorang berpiutang sehingga tingkatannya lebih tinggi daripada orang berpiutang lainnya.” Sementara ayat (2) nya menyatakan bahwa: “gadai dan hipotik adalah lebih tinggi dari hak istimewa, kecuali dalam hal-hal dimana oleh undang-undang ditentukan sebaliknya”

Pasal 60 UU Kepailitan menyatakan bahwa:

(1) Kreditor pemegang hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) yang melaksanakan haknya, wajib memberikan pertanggungjawaban kepada Kurator tentang hasil penjualan benda yang menjadi agunan dan menyerahkan sisa hasil penjualan setelah dikurangi jumlah utang, bunga, dan biaya kepada Kurator.

(2) Atas tuntutan Kurator atau Kreditor yang diistimewakan yang kedudukannya lebih tinggi dari pada Kreditor pemegang hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka Kreditor pemegang hak tersebut wajib menyerahkan bagian dari hasil penjualan tersebut untuk jumlah yang sama dengan jumlah tagihan yang diistimewakan.

(3) Dalam hal hasil penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak cukup untuk melunasi piutang yang bersangkutan, Kreditor pemegang hak tersebut dapat mengajukan tagihan pelunasan atas kekurangan tersebut dari harta pailit sebagai kreditor konkuren, setelah mengajukan permintaan pencocokan piutang.

   Dengan demikian berdasarkan Pasal 19 ayat (6) UU PPSP Jo. Pasal 21 (1) UU KUP Jo. Pasal 1134 ayat (2) KUH Perdata Jo. Pasal 60 UU Kepailitan, maka kedudukan utang pajak merupakan suatu hak istimewa yang dimiliki oleh Negara, sehingga Negara merupakan kreditur preferen yang dinyatakan mempunyai hak mendahulu atas barang-barang milik Penanggung Pajak, dengan demikian kedudukan utang pajak ini di atas kredirtur separatis dan kreditur konkuren.
Apabila melihat dari aturan perundang-undangan di atas, maka seolah-olah bahwa kedudukan utang pajak ini sangat jelas, namun ternyata dalam prakteknya tidak semudah itu. Sebagaimana diungkapkan oleh Richard Burton (2005), bahwa Menagih utang pajak selalu menjadi persoalan serius. Satu contoh adalah urusan utang pajak yang diselesaikan oleh Pengadilan Niaga. Disebutkan bahwa utang pajak PT Inti Mutiara Kimindo (IMK) lunas berdasarkan penetapan Pengadilan Niaga. 

Dalam berita Utang pajak, bisakah diselesaikan Pengadilan Niaga? yang dimuat di Bisnis Indonesia, tanggal 6 Juli 2005 dinyatakan bahwa kronologis kasusnya adalah sebagai berikut:

Setelah mendapat mandat dari Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dalam putusan No. 04/PKPU/2004/PN.Niaga.JKT.PST. jo Nomor 42/PAILIT/2004/PN.NIAGA. JKT.PST sebagai pengurus dalam perkara gugatan pailit oleh Osville Finance Ltd, sebuah perseroan terbatas yang berbadan hukum di Virgin Islands terhadap PT Inti Mutiara Kimindo (IMK), Tommi S. Siregar dari Kantor Hukum Mitra & Associates segera merancang rencana perdamaian yang melibatkan semua kreditor.



IMK mengaku punya utang kepada tiga pihak (kreditor), yaitu Osville (US$2,744 juta), Chippingham Agents (juga perusahaan di Virgin Islands) sebesar US$16,328 juta, dan Depkeu cq Kantor Pelayanan Pajak Grogol Petamburan Rp50,331 miliar (setara dengan US$5,569 juta).



Setelah beberapa kali menggelar pertemuan dengan para kreditor atau wakilnya, Tommi selaku pengurus PT IMK berhasil menyusun usulan perdamaian yang diterima secara voting oleh kreditor (Osville dan Chipingham). Utang pajak yang diterbitkan oleh KPP Grogol Petamburan dianggap sebagai utang pada umumnya, sehingga KPP tersebut pun dianggap sebagai kreditor. Namun kantor pajak mengaku tidak pernah dilibatkan dan tidak pernah diberi tahu adanya upaya perdamaian yang dilakukan pengurus IMK tersebut.



Proposal restrukturisasi akhirnya tetap 'disepakati' para kreditor meskipun kantor pajak tidak dilibatkan. Mereka tetap mengambil keputusan, dengan cara voting. Utang kepada kantor pajak yang jumlahnya mencapai Rp50 miliar akan diselesaikan dengan penyerahan piutang atas nama debitor Multidana Finance B.V sebesar US$7,597 juta (pokok dan bunga per 19 Oktober 2004) atau setara dengan Rp68,658 miliar.



Mekanisme penyelesaian utang pajak ini dilakukan dalam tiga tahap. Pertama, selambat-lambatnya lima hari kerja sejak rencana perdamaian tersebut dihomologasi (penetapan pengadilan atas proposal perdamaian) oleh Pengadilan Niaga, utang IMK kepada kantor pajak diselesaikan melalui penyertaan piutang (Multidana) yang akan dilakukan dengan menandatangani Transfer Certificate kepada Tommi S. Siregar untuk selanjutnya diserahkan ke kantor pajak atau pihak lain yang ditunjuk kantor pajak.



Kedua, Transfer certificate kepada Tommi Siregar tersebut merupakan surat keterangan yang sah dan final yang diberikan oleh kantor pajak ke IMK. Ketiga, dengan adanya transfer certificate kepada Tommi, maka seluruh kewajiban IMK kepada kantor pajak telah lunas.



Sedangkan penyelesaian utang kepada Osville dan Chippingham dilakukan dengan cara mengkonversi utang menjadi penyertaan saham. Utang kepada kedua kreditor tersebut lunas dengan penyerahan saham.



Bertempat di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, IMK dan para kreditor (tentu saja minus kantor pajak, namun tetap dianggap ikut dalam perdamaian tersebut) bersepakat membuat perjanjian perdamaian dengan syarat-syarat tertentu. Salah satunya adalah pasal 3 yang berbunyi:

Setelah pelaksanaan kewajiban debitor kepada para kreditor maka utang debitor kepada para kreditor menjadi lunas. Oleh karena itu dengan ini debitor dan para kreditor berjanji dan mengikatkan diri untuk saling memberikan pembebasan dan pelunasan sepenuhnya, serta tidak akan saling menggugat, melaporkan, menyita dan atau melakukan tindakan hukum lainnya tanpa kecuali.



Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada 29 Desember 2004 mengesahkan perdamaian tersebut, meski tanpa kehadiran pejabat atau wakil dari kantor pajak yang dalam perjanjian tersebut dinyatakan sebagai kreditor. Agak aneh lagi, karena majelis hakim maupun hakim pengawas sama sekali tidak mempertanyakan ketidakhadiran kantor pajak dalam semua proses perdamaian tersebut hingga palu diketuk.



Tommi baru mengirim pemberitahuan putusan Pengadilan Niaga tersebut pada 27 Januari 2005, sehingga upaya banding yang bisa dilakukan kantor pajak menjadi hilang. Apalagi surat tersebut juga tidak menyertakan salinan putusan.



Apabila kita melihat pada UU perpajakan, diatur bahwa upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak dibatasi hanya melalui keberatan ke Ditjen Pajak, banding ke Pengadilan Pajak, dan peninjauan kembali ke MA. Di luar ketiga upaya hukum tersebut tidak dimungkinkan lagi upaya hukum lain, kecuali gugatan tindakan penagihan atas kepemilikan barang yang disita, bisa diajukan ke Pengadilan Negeri .

Dengan demikian bagaimana dengan tindakan hakim pengadilan niaga yang memutus mengenai utang pajak ini? Apakah sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku?

Bahwa UU No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan tidak menentukan dengan jelas apa yang dimaksud dengan “utang”. Hal ini membuka kemungkinan penafsiran yang berbeda-beda oleh hakim yang memeriksa kasus-kasus kepailitan baik di tingkat Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri maupun di tingkat kasasi dan peninjauan kembali pada MA. (Pramono,2006)
Dalam kasus PT. Modernland Land Realty, MA dalam pertimbangan putusannya menyatakan bahwa pengertian utang seperti yang dikehendaki Pasal 1 ayat (1) UU No. 4 tahun 1998 itu pada dasarnya hanya menekankan utang yang timbul dari pinjam meminjam swasta sehingga tidak meliputi utang yang timbul karena salah satu pihak wanprestasi di luar konstruksi pinjam meminjam uang. (Pramono,2006)
Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Richard Burton, yang menyatakan bahwa: Yurisprudensi untuk masalah yang sama ada dalam Putusan MA No.015 K/N/1999, 14 Juli 1999 dalam perkara kepailitan antara PT Wahana Pandugraha (Debitor-Termohon Pailit) dengan PT. Liman International Bank (Kreditor-Pemohon Pailit) yang melibatkan KPP Jakarta Gambir I dan KPPBB Kabupaten Pandeglang dalam urusan utang pajak. Alasan hukum yang dinyatakan MA adalah KPP tidak termasuk kreditor dalam ruang lingkup pailit, karena bentuk utang pajak adalah tagihan yang lahir dari undang-undang (UU KUP No.6/83 jo No. 9/94), bukan karena hubungan hutang-piutang. UU KUP memberikan kewenangan khusus kepada pejabat pajak untuk melakukan eksekusi langsung terhadap utang pajak diluar campur tangan kewenangan peradilan. 
Walaupun demikian ternyata pada UU Kepailitan yang baru UU No. 37 tahun 2004, Pasal 1 angka 6 menyatakan bahwa Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontijen, yang timbul karena perjanjian atau Undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitor.
Dengan demikian menurut UU No. 37 Tahun 2004 ini menjadikan rumusan utang menjadi semakin luas, bahkan menyatakan bahwa utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam uang baik yang timbul karena perjanjian atau Undang-undang. 
Dari rumusan utang tersebut berarti utang pajak sebagai utang yang timbul karena undang-undang termasuk dalam lingkup utang kepailitan dan dengan demikian Yurisprudensi Putusan MA No.015 K/N/1999, yang menyatakan bahwa KPP tidak termasuk kreditor dalam ruang lingkup pailit, karena bentuk utang pajak adalah tagihan yang lahir dari undang-undang bukan karena hubungan hutang-piutang menjadi tidak berlaku lagi.
Namun demikian, apakah karena utang pajak ini dapat dianggap sebagai utang dalam kepailitan menjadikan keputusan perdamaian yang disahkan oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dalam putusan No. 04/PKPU/2004/PN.Niaga.JKT.PST. jo Nomor 42/PAILIT/2004/PN.NIAGA. JKT.PST ini tepat?

Menurut Pasal 1 angka 8 Jo. Pasal 19 ayat (6) UU No. 19 tahun 2000 Jo. Pasal 21 UU No. 16 Tahun 2000, yang pada intinya menyatakan bahwa Negara mempunyai hak mendahulu untuk tagihan pajak atas barang-barang milik Penanggung Pajak dan Hak mendahulu untuk tagihan pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali terhadap:

a.       biaya perkara yang semata-mata disebabkan suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan atau barang tidak bergerak;
b.      biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud;
c.       biaya perkara, yang semata-mata disebabkan pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.

Kemudian apabila melihat Pasal 1 angka 9 UU Nomor 19 tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (UU PPSP) dinyatakan bahwa: “Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita.”

Sementara itu menurut Pasal 1 angka 11 UU PPSP, Penagihan Seketika dan Sekaligus adalah tindakan penagihan pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang pajak dari semua jenis pajak, Masa Pajak, dan Tahun Pajak. Dan menurut Pasal 1 angka 12 UU PPSP, Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak.

Dan Pasal 7 UU PPSP menyatakan bahwa: Surat Paksa berkepala kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA", mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Dari ketentuan UU PPSP di atas, menegaskan bahwa atas utang pajak walaupun dengan adanya pengajuan keberatan atau permohonan banding tetap tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak. Dan dengan demikian maka seharusnya penyelesaian penagihan utang pajak ini berada diluar jalur proses pailit karena mempunyai kedudukan hak istimewa dalam penyelesaiannya.

Bahkan ketentuan Pasal 41 ayat (3) Undang-undang Kepailitan dengan tegas menyebutkan bahwa "dikecualikan dari ketentuan pada ayat (1) adalah perbuatan hukum debitor yang wajib dilakukannya berdasarkan perjanjian dan/atau karena undang-undang." Penjelasannya menyatakan : “perbuatan yang wajib dilakukan karena undang-undang misalnya, kewajiban membayar pajak.” Dengan mengacu pada ketentuan tersebut, pengadilan niaga selayaknya mendahulukan pelunasan utang pajak.

Selain itu, berdasarkan Pasal 162 UU Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan, dinyatakan bahwa: “perdamaian yang disahkan berlaku bagi semua kreditor yang tidak mempunyai hak yang didahulukan, dengan tidak ada pengecualian, baik yang telah mengajukan diri dalam kepailitan maupun tidak.” Dengan demikian, maka seharusnya perjanjian perdamaian hanya berlaku bagi Kreditor Konkuren. Perjanjian perdamaian yang telah disahkan hanya berlaku bagi kreditor konkuren, baik perdamaian yang dicapai setelah debitor dinyatakan pailit sesuai Pasal 162 UUK atau perdamaian yang berhasil setelah melalui proses PKPU sesuai Pasal 286 UUK.

Bahkan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU Kepailitan menyatakan: "Atas tuntutan Kurator atau Kreditor yang diistimewakan yang kedudukannya lebih tinggi daripada Kreditor pemegang hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka Kreditor pemegang hak tersebut wajib menyerahkan bagian dari hasil penjualan tersebut untuk jumlah yang sama dengan jumlah tagihan yang diistimewakan"

Dengan demikian maka seharusnya perdamaian ini tidak mengikat bagi DJP cq. KPP Grogol Petamburan, karena sebagaimana yang diungkapkan oleh Munir Fuady (2005:112) bahwa “akibat hukum dari dicapainya perdamaian diantaranya adalah keputusan perdamaian mengikat seluruh kreditur konkuren dan perdamaian tidak berlaku bagi kreditur separatis dan kreditur yang diistimewakan. Selain itu bahkan DJP sebagai kreditor yang diistimewakan yang kedudukannya lebih tinggi daripada kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya dapat meminta kreditor pemegang hak tersebut untuk menyerahkan bagian dari hasil penjualan tersebut untuk jumlah yang sama dengan jumlah tagihan pajaknya
 
D. Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa walaupun menurut ketentuan utang menurut Pasal 1 angka 6 UU No. 37 tahun 2004 meliputi kepada pengertian utang pajak karena memasukan rumusan utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam uang baik yang timbul karena undang-undang, namun demikian tidak berarti bahwa utang pajak ini dapat disamakan kedudukannya dengan utang lainnya dalam proses kepailitan. Hal ini dikarenakan:
1.      berdasarkan Pasal 19 ayat (6) UU PPSP Jo. Pasal 21 (1) UU KUP Jo. Pasal 1134 ayat (2) KUH Perdata Jo. Pasal 60 UU Kepailitan, maka kedudukan utang pajak merupakan suatu hak istimewa yang dimiliki oleh Negara, sehingga Negara merupakan kreditur preferen yang dinyatakan mempunyai hak mendahulu atas barang-barang milik Penanggung Pajak, dengan demikian kedudukan utang pajak ini di atas kredirtur separatis dan kreditur konkuren.
2.      Pasal 1 angka 9 Jo.  Pasal 1 angka 11 Jo. Pasal 1 angka 12  Jo. Pasal 7 UU Nomor 19 tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (UU PPSP) menyatakan bahwa utang pajak walaupun dengan adanya pengajuan keberatan atau permohonan banding tetap tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak. Dan dengan demikian maka seharusnya penyelesaian penagihan utang pajak ini berada diluar jalur proses pailit karena mempunyai kedudukan hak istimewa dalam penyelesaiannya, bahkan Surat Paksa mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. 
3.      Pasal 41 ayat (3) Undang-undang Kepailitan dengan tegas menyebutkan bahwa "dikecualikan dari ketentuan pada ayat (1) adalah perbuatan hukum debitor yang wajib dilakukannya berdasarkan perjanjian dan/atau karena undang-undang." Penjelasannya menyatakan : “perbuatan yang wajib dilakukan karena undang-undang misalnya, kewajiban membayar pajak.” Dengan mengacu pada ketentuan tersebut, pengadilan niaga selayaknya mendahulukan pelunasan utang pajak.
Selain itu, berdasarkan Pasal 162 UU Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan, perdamaian yang disahkan hanya berlaku bagi semua kreditor yang tidak mempunyai hak yang didahulukan (kreditor konkuren), dan perdamaian tidak berlaku bagi kreditur separatis dan kreditur yang diistimewakan. Sehingga dengan demikian maka tindakan  Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada 29 Desember 2004 yang mengesahkan perdamaian melalui putusan No. 04/PKPU/2004/PN.Niaga.JKT.PST. jo Nomor 42/PAILIT/2004/PN.NIAGA. JKT.PST ini tidak tepat
 
 
 
 
 
 
 
 
 

DAFTAR BACAAN:

Gunadi (Guru Besar Perpajakan FISIP UI), Ditjen Pajak tidak termasuk kreditor dalam lingkup pailit dalam -- Bisnis Indonesia - 16-Jan-2006 – atau http://www.kanwilpajakwpbesar.go.id/berita.php?cmd=detail&id=2006-01-16%2011:20:24

Munir Fuady, 2005, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek, edisi revisi, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Nindyo Pramono, 2006, Bahan Kuliah Hukum Kepailitan, UGM, Yogyakarta.

Richard Burton Rumitnya menagih utang pajak dalam Bisnis Indonesia / Senin, 01 Agustus 2005 atau http://www.klikpajak.com/artikel/artikel.php?article_id=5947

Tafrizal Hasan Gewang, Utang pajak, bisakah diselesaikan pengadilan niaga? Suatu tanggapan dalam Bisnis Indonesia / Rabu, 13 Juli 2005 seperti dimuat dalam situs http://www.klikpajak.com/artikel/artikel.php?article_id=

Bisnis Indonesia, 06-Juli-2005, Utang pajak, bisakah diselesaikan Pengadilan Niaga?.

Majalah Berita Pajak, No. 1543 Tahun XXXII, 15 Juli 2005, Tagihan Pajak Kandas Lewat Pailit

Majalah Berita Pajak, No. 1543 Tahun XXXII, 15 Juli 2005, Kasus PT IMK vs Ditjen Pajak: Modus Baru Menjarah Uang Negara

Sebuah tulisan tentang Ketentuan Pasal 44 B UU KUP

Walaupun ketentuan Pasal 44 B UU KUP tidak termasuk ke dalam Bab VIII tentang ketentuan pidana melainkan masuk ke Bab IX tentang penyidikan, tetapi ketentuan pasal 44B ini masih berhubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan. Selain itu pembahasan Pasal 44B dalam sub topik tulisan ini juga karena maraknya pemberitaan di media massa tentang ketentuan ini.

Rochmat Soemitro (1991:35) menyatakan bahwa dalam bidang perpajakan, pajak yang diselundupi tidak hapus dengan dijatuhkannya sanksi pidana. Sanksi pidana hanya merupakan hukuman bagi perbuatannya. Sanksi pidana termasuk wewenang pengadilan pidana, dan penetapan pajak termasuk wewenag DJP, dua instansi yang berlainan dan yang bernaung di bawah departemen yang berlainan. Instansi yang satu tidak dapat memasuki wewenang instansi lainnya.

Bahwa apabila berpegang pada prinsip yang diungkapkan oleh Rochmat Soemitro, bahwa sanksi pidana tidak meniadakan utang pajak, maka apabila prinsip ini dibalik, apakah lunasnya utang pajak dapat meniadakan sanksi pidana?

Apabila dilihat dari UU KUP ternyata saat perubahan UU KUP yang pertama tahun 1994, dalam Pasal 44 ditambahkan ketentuan Pasal 44 A

“Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) menghentikan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) huruf j dalam hal tidak terdapat cukup bukti, atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan, atau penyidikan dihentikan karena peristiwanya telah daluwarsa, atau tersangka meninggal dunia.”

dan Pasal 44 B UU KUP yang menyatakan bahwa:

(1) untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.

(2) Penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud ayat (1), hanya dapat dilakukan setelah WP melunasi utang pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan, ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar empat kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, atau yang tidak seharusnya dikembalikan.

Pasal 1 UU KUP menyatakan bahwa Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya.

Dari ketentuan di atas berarti bahwa apabila ada seorang WP yang melakukan tindak pidana di bidang perpajakan, tetapi apabila kemudian WP tersebut melunasi utang pajaknya dan ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar empat kali jumlah utang pajaknya maka penyidikan tindak pidana di bidang perpajakannya dapat dihentikan oleh Jaksa Agung untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan.

Dengan demikian ketentuan Pasal 44 B UU KUP ini berarti menganut prinsip lunasnya utang pajak dengan disertai denda meniadakan sanksi pidananya.

Hal ini yang kemudian menimbulkan banyak kontroversi terutama setelah adanya kasus Paulus Tumewu sebagaimana yang diberitakan dalam Artikel Menjerat Penggelap Pajak Lewat Praperadilan dari situs http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=16737&cl=Berita

Perkara ini bermula pada September 2005, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Direktorat Jenderal Pajak Depkeu telah melakukan penyidikan dugaan tindak pidana penggelapan dan atau penyimpangan pajak terhadap tersangka Paulus Tumewu yang berjumlah Rp7,994 milyar.

Saat itu, Paulus diduga menurunkan (mark down) nilai pendapatan kotor (omzet) dua perusahaannya, Ramayana dan Robinson Departement Store, agar kewajiban pajaknya juga kecil. Kemudian pada pertengahan September 2005, setelah dirasakan cukup bukti, penyidik kemudian melakukan dan penangkapan terhadap Paulus. November 2005, berkas dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta dan dinyatakan lengkap untuk diajukan ke pengadilan atau lazim dikenal dengan istilah P-21.

Namun, belum sempat dilimpahkan ke pengadilan, Kejaksaan Agung, saat itu melalui Hendarman Supandji (yang saat itu masih menjabat sebagai Jampidsus) keburu mengambil alih kasus Paulus untuk dilakukan penyidikan terhadap dugaan korupsinya. Belakangan, muncul surat dari Menteri Keuangan Sri Mulyani kepada Jaksa Agung (saat itu dijabat Abdul Rahman Saleh) yang menjelaskan perihal sudah dilunasinya tunggakan pajak beserta dendanya. Atas dasar itu, Jaksa Agung kemudian memerintahkan Kajati DKI untuk menghentikan penuntutan perkara Paulus. Kemudian, diterbitklanlah SKPP bernomor Kep-01/O.1/Ep.2/01/2007 oleh Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta tertanggal 16 Januari 2007 oleh Kajati DKI Jakarta. Dengan kata lain, kasus penggelapan pajak Paulus Tumewu tutup buku karena sudah mengembalikan keuangan negara.

Pasal 44 B Ayat (1) UU Pajak menjelaskan, untuk kepentingan negara, atas permintaan menteri keuangan, Jaksa Agung dapat menghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. Sedangkan dalam Ayat (2) pasal tersebut, disebutkan bahwa penghentian penyidikan hanya dilakukan jika wajib pajak sudah melunasi pajak yang tidak atau kurang atau yang tidak seharusnya dikembalikan, ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar empat kalinya.

Dalam kasus Paulus Tumewu, sesuai dengan surat Menkeu dijelaskan, kekurangan pajak Paulus pada tahun 2004 adalah sebesar Rp7,994 milyar. “Berdasarkan Surat Setoran Pajak tanggal 31 Oktober 2006, Paulus Tumewu telah menyetor uang sejumlah Rp31,978 milyar sebagai denda dari kekurangan pajak yang harus dibayarkan,” katanya. Sebelumnya, pada 28 November 2005, Paulus juga telah menyetorkan kekurangan pajaknya yang Rp7,994 milyar.

Walaupun demikian ternyata penghentian penyidikan tindak pidana pajak ini ternyata menimbulkan banyak suara yang tidak setuju. Diantaranya adalah Boyamin Saiman, seorang aktivis anti korupsi asal Jawa Tengah, sedang mempraperadilankan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) DKI Jakarta karena telah mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) perkara penggelapan pajak dengan tersangka Paulus Tumewu. Bahkan kasus ini pun dipermasalahkan oleh Drajad H Wibowo dalam sidang hearing antara Menkeu dan Komisi XI DPR pada 20 Februari 2007.

Bahwa kemudian ternyata atas alasan pihak yang tidak setuju adanya penghentian penyidikan ini Menkeu dalam siaran pers nya menyatakan bahwa penghentian penyidikan dalam kasus Paulus Tumewu ini dengan menggunakan pertimbangan mengedepankan kepentingan penerimaan negara dan mendasarkan Pasal 44 b UU KUP.(Siregar,2007)

Bahwa dari kasus ini dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam kasus tindak pidana pajak ini ternyata walaupun dinyatakan bahwa sanksi pidana tidak meniadakan utang pajak, tetapi pembayaran utang pajak dengan disertai denda dapat menghentikan penyidikan tindak pidana pajak, walaupun dari segi pidana mungkin dirasa tidak adil karena ternyata sanksi pidana menjadi hapus, tetapi apabila dilihat dari segi kekhususan hukum pidana pajak, hal ini mungkin dilakukan untuk mencapai tujuannya yaitu sebagaimana diungkapkan oleh Menkeu untuk mengedepankan penerimaan negara.

Bahwa hal ini dimungkinkan dilakukan karena sesuai dengan kekhususan dari hukum pajak itu sendiri, maka sesuai dengan asas lex specialis derogate legi generalis, pendekatan yang berorientasi pada penerimaan negara seperti yang dirumuskan dalam Pasal 44B ini sah-sah saja.

SARAN

Bahwa sebagai suatu aturan yang khusus, ternyata UU KUP juga menganut suatu prinsip yang mengedepankan pada penerimaan negara, sehingga penyidikan pidana pun dapat dihentikan apabila WP melunasi utang pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan, ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar empat kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, atau yang tidak seharusnya dikembalikan, sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 44 B UU KUP.

TAMBAHAN:

Rumusan Pasal 44B KUP baru:

59. Ketentuan Pasal 44B diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 44B

(1) Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan paling lama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan.

(2) Penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan setelah Wajib Pajak melunasi utang pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan dan ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar 4 (empat) kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, atau yang tidak seharusnya dikembalikan.

Pasal 44B lama:

dan Pasal 44 B UU KUP yang menyatakan bahwa:

(3) untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.

(4) Penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud ayat (1), hanya dapat dilakukan setelah WP melunasi utang pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan, ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar empat kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, atau yang tidak seharusnya dikembalikan.

BAHAN TULISAN:

Bastanul Siregar, Menkeu: Paulus bayar denda , Bisnis Indonesia, 22-Pebruari-2007

Rochmat Soemitro, 1991, Asas dan Dasar Perpajakan 3, Eresco, Bandung.

CATATAN: Tulisan ini merupakam sub bab dari sebuah tulisan yang berjudul ”Kajian Atas Ketentuan Pidana dalam UU KUP” sebagai tugas untuk mata kuliah Hukum Pidana Pajak, di UGM tahun 2007, dengan pengajar Barda Nawawi Arief.