Monday, February 4, 2008

Sebuah tulisan tentang Ketentuan Pasal 44 B UU KUP

Walaupun ketentuan Pasal 44 B UU KUP tidak termasuk ke dalam Bab VIII tentang ketentuan pidana melainkan masuk ke Bab IX tentang penyidikan, tetapi ketentuan pasal 44B ini masih berhubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan. Selain itu pembahasan Pasal 44B dalam sub topik tulisan ini juga karena maraknya pemberitaan di media massa tentang ketentuan ini.

Rochmat Soemitro (1991:35) menyatakan bahwa dalam bidang perpajakan, pajak yang diselundupi tidak hapus dengan dijatuhkannya sanksi pidana. Sanksi pidana hanya merupakan hukuman bagi perbuatannya. Sanksi pidana termasuk wewenang pengadilan pidana, dan penetapan pajak termasuk wewenag DJP, dua instansi yang berlainan dan yang bernaung di bawah departemen yang berlainan. Instansi yang satu tidak dapat memasuki wewenang instansi lainnya.

Bahwa apabila berpegang pada prinsip yang diungkapkan oleh Rochmat Soemitro, bahwa sanksi pidana tidak meniadakan utang pajak, maka apabila prinsip ini dibalik, apakah lunasnya utang pajak dapat meniadakan sanksi pidana?

Apabila dilihat dari UU KUP ternyata saat perubahan UU KUP yang pertama tahun 1994, dalam Pasal 44 ditambahkan ketentuan Pasal 44 A

“Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) menghentikan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) huruf j dalam hal tidak terdapat cukup bukti, atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan, atau penyidikan dihentikan karena peristiwanya telah daluwarsa, atau tersangka meninggal dunia.”

dan Pasal 44 B UU KUP yang menyatakan bahwa:

(1) untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.

(2) Penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud ayat (1), hanya dapat dilakukan setelah WP melunasi utang pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan, ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar empat kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, atau yang tidak seharusnya dikembalikan.

Pasal 1 UU KUP menyatakan bahwa Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya.

Dari ketentuan di atas berarti bahwa apabila ada seorang WP yang melakukan tindak pidana di bidang perpajakan, tetapi apabila kemudian WP tersebut melunasi utang pajaknya dan ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar empat kali jumlah utang pajaknya maka penyidikan tindak pidana di bidang perpajakannya dapat dihentikan oleh Jaksa Agung untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan.

Dengan demikian ketentuan Pasal 44 B UU KUP ini berarti menganut prinsip lunasnya utang pajak dengan disertai denda meniadakan sanksi pidananya.

Hal ini yang kemudian menimbulkan banyak kontroversi terutama setelah adanya kasus Paulus Tumewu sebagaimana yang diberitakan dalam Artikel Menjerat Penggelap Pajak Lewat Praperadilan dari situs http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=16737&cl=Berita

Perkara ini bermula pada September 2005, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Direktorat Jenderal Pajak Depkeu telah melakukan penyidikan dugaan tindak pidana penggelapan dan atau penyimpangan pajak terhadap tersangka Paulus Tumewu yang berjumlah Rp7,994 milyar.

Saat itu, Paulus diduga menurunkan (mark down) nilai pendapatan kotor (omzet) dua perusahaannya, Ramayana dan Robinson Departement Store, agar kewajiban pajaknya juga kecil. Kemudian pada pertengahan September 2005, setelah dirasakan cukup bukti, penyidik kemudian melakukan dan penangkapan terhadap Paulus. November 2005, berkas dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta dan dinyatakan lengkap untuk diajukan ke pengadilan atau lazim dikenal dengan istilah P-21.

Namun, belum sempat dilimpahkan ke pengadilan, Kejaksaan Agung, saat itu melalui Hendarman Supandji (yang saat itu masih menjabat sebagai Jampidsus) keburu mengambil alih kasus Paulus untuk dilakukan penyidikan terhadap dugaan korupsinya. Belakangan, muncul surat dari Menteri Keuangan Sri Mulyani kepada Jaksa Agung (saat itu dijabat Abdul Rahman Saleh) yang menjelaskan perihal sudah dilunasinya tunggakan pajak beserta dendanya. Atas dasar itu, Jaksa Agung kemudian memerintahkan Kajati DKI untuk menghentikan penuntutan perkara Paulus. Kemudian, diterbitklanlah SKPP bernomor Kep-01/O.1/Ep.2/01/2007 oleh Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta tertanggal 16 Januari 2007 oleh Kajati DKI Jakarta. Dengan kata lain, kasus penggelapan pajak Paulus Tumewu tutup buku karena sudah mengembalikan keuangan negara.

Pasal 44 B Ayat (1) UU Pajak menjelaskan, untuk kepentingan negara, atas permintaan menteri keuangan, Jaksa Agung dapat menghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. Sedangkan dalam Ayat (2) pasal tersebut, disebutkan bahwa penghentian penyidikan hanya dilakukan jika wajib pajak sudah melunasi pajak yang tidak atau kurang atau yang tidak seharusnya dikembalikan, ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar empat kalinya.

Dalam kasus Paulus Tumewu, sesuai dengan surat Menkeu dijelaskan, kekurangan pajak Paulus pada tahun 2004 adalah sebesar Rp7,994 milyar. “Berdasarkan Surat Setoran Pajak tanggal 31 Oktober 2006, Paulus Tumewu telah menyetor uang sejumlah Rp31,978 milyar sebagai denda dari kekurangan pajak yang harus dibayarkan,” katanya. Sebelumnya, pada 28 November 2005, Paulus juga telah menyetorkan kekurangan pajaknya yang Rp7,994 milyar.

Walaupun demikian ternyata penghentian penyidikan tindak pidana pajak ini ternyata menimbulkan banyak suara yang tidak setuju. Diantaranya adalah Boyamin Saiman, seorang aktivis anti korupsi asal Jawa Tengah, sedang mempraperadilankan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) DKI Jakarta karena telah mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) perkara penggelapan pajak dengan tersangka Paulus Tumewu. Bahkan kasus ini pun dipermasalahkan oleh Drajad H Wibowo dalam sidang hearing antara Menkeu dan Komisi XI DPR pada 20 Februari 2007.

Bahwa kemudian ternyata atas alasan pihak yang tidak setuju adanya penghentian penyidikan ini Menkeu dalam siaran pers nya menyatakan bahwa penghentian penyidikan dalam kasus Paulus Tumewu ini dengan menggunakan pertimbangan mengedepankan kepentingan penerimaan negara dan mendasarkan Pasal 44 b UU KUP.(Siregar,2007)

Bahwa dari kasus ini dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam kasus tindak pidana pajak ini ternyata walaupun dinyatakan bahwa sanksi pidana tidak meniadakan utang pajak, tetapi pembayaran utang pajak dengan disertai denda dapat menghentikan penyidikan tindak pidana pajak, walaupun dari segi pidana mungkin dirasa tidak adil karena ternyata sanksi pidana menjadi hapus, tetapi apabila dilihat dari segi kekhususan hukum pidana pajak, hal ini mungkin dilakukan untuk mencapai tujuannya yaitu sebagaimana diungkapkan oleh Menkeu untuk mengedepankan penerimaan negara.

Bahwa hal ini dimungkinkan dilakukan karena sesuai dengan kekhususan dari hukum pajak itu sendiri, maka sesuai dengan asas lex specialis derogate legi generalis, pendekatan yang berorientasi pada penerimaan negara seperti yang dirumuskan dalam Pasal 44B ini sah-sah saja.

SARAN

Bahwa sebagai suatu aturan yang khusus, ternyata UU KUP juga menganut suatu prinsip yang mengedepankan pada penerimaan negara, sehingga penyidikan pidana pun dapat dihentikan apabila WP melunasi utang pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan, ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar empat kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, atau yang tidak seharusnya dikembalikan, sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 44 B UU KUP.

TAMBAHAN:

Rumusan Pasal 44B KUP baru:

59. Ketentuan Pasal 44B diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 44B

(1) Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan paling lama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan.

(2) Penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan setelah Wajib Pajak melunasi utang pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan dan ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar 4 (empat) kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, atau yang tidak seharusnya dikembalikan.

Pasal 44B lama:

dan Pasal 44 B UU KUP yang menyatakan bahwa:

(3) untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.

(4) Penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud ayat (1), hanya dapat dilakukan setelah WP melunasi utang pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan, ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar empat kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, atau yang tidak seharusnya dikembalikan.

BAHAN TULISAN:

Bastanul Siregar, Menkeu: Paulus bayar denda , Bisnis Indonesia, 22-Pebruari-2007

Rochmat Soemitro, 1991, Asas dan Dasar Perpajakan 3, Eresco, Bandung.

CATATAN: Tulisan ini merupakam sub bab dari sebuah tulisan yang berjudul ”Kajian Atas Ketentuan Pidana dalam UU KUP” sebagai tugas untuk mata kuliah Hukum Pidana Pajak, di UGM tahun 2007, dengan pengajar Barda Nawawi Arief.

No comments: